Senin, 8 juni 2015 pukul 9.30 pagi, kami masih sementara
melakukan rutinitas ketika hujan turun. Rutinitas yang masih sama, dengan hal
yang sama, di tempat yang sama, pada waktu yang sama. Dosen masih tengah
berbagi informasi kepada kami. Teman-teman yang lain juga masih sibuk
memperhatikan bahkan ada yang tangannya bergerak cepat menuntun pulpennya
mencatat poin-poin kebaikan yang disampaikan beliau. Bukan materi kuliah tapi
lebih penting dari itu. Makanan untuk jiwa, asupan gizi untuk rohani.
Hujan masih turun, semakin deras hingga membuat suara beliau
tenggelam dalam suara hujan. Tiba-tiba beliau berhenti, menengok ke arah pintu,
kemudian menatap butiran air hujan yang turun.
“seharusnya kita sekarang sudah memasuki musim kemarau tapi
akhir-akhir ini malah sering turun hujan”. Kata beliau. Disusul oleh perhatian
kami yang mulai teralihkan oleh derasnya hujan
“menurut para peramal cuaca, saat ini masih musim transisi.
Jadi sisa-sisa hujan yang belum sempat turun di musim hujan baru turun
sekarang.” Sambil tersenyum. Dari ujung depan, saya memperhatikan mahasiswa
yang lain. Sebagian dari kami menyambutnya dengan senyum mengiyakan, sebagian
lagi menyambut dengan ekspresi wajah dengan berfikir kalimat apa yang akan
keluar setelah ekspresi itu dari beliau.
Beliau memang seorang yang selalu penuh dengan kejutan.
Selalu saja ada hal yang beliau bawa setiap harinya ke dalam ruang kelas untuk
disampaikan kepada mahasiswa dengan niat berbagi kebaikan yang selanjutnya akan
memotivasi kami untuk mengamalkan kebaikan-kebaikan yang beliau sampaikan.
Katanya, materi perkuliahan kita dengan kemampuan mahasiswa semacam kalian
sebenarnya bisa kalian mengerti dengan belajar sendiri atau belajar bersama.
Yang paling penting sebenarnya, bagaimana agar kalian meniatkan setiap kegiatan
kalian termasuk pembelajaran hari ini sebagai ibadah.
“tapi” lanjutnya, “kalau melihat hujan akhir-akhir ini
sepertinya hujan ini bukan sisa-sisa, bukan begitu?” tanyanya pada kami. “kita
sepertinya sedang memasuki musim hujan lagi tanpa melalui musim kemarau”
katanya. Saya berbalik, memperhatikan teman-teman kembali, tampak dari mereka
ekspresi kebingungan, ada yang tersenyum karena menganggap hal itu lelucon dan
ada yang masih sepertinya menunggu apa lanjutan dari kalimat tersebut (yang
mungkin kurang lebih sama dengan ekspresi pembaca yang sedang menatap rangkain
huruf-huruf dalam paragraf ini.:D)
“artinya apa? Bumi sekarang sudah semakin tua. Hingga lupa
sekarang sudah musim kemarau atau masih musim hujan ya? Ah, Mungkin musim
hujan, jadi ya hujan lagi” teman-teman yang lain mulai tersenyum.
Saya terdiam, menatapi ekspresi dari teman-teman yang lain
dan tertuju pada saudari yang sedang tampak merenung, memikirkan hal yang
sepertinya sama dengan yang saya fikirkan. Bumi sudah tua. Sudah pikun! Tapi
apakah kita menyadari? Begitu kurang lebih.
Bumi sudah tua! Begitu mendalam makna dari susunan kata ini.
Tapi terkadang sulit bagi kita untuk sekedar menyadari. Bumi yang kita tempati
ini sudah seperti orang lanjut usia yang nikmat-Nya diambil kembali, sedikit
demi sedikit lalu akhirnya kembali seutuhnya kepada Dia Yang Maha Pemberi
nikmat.
Berapa banyak dari pembaca yang ketika dari awal membaca
tulisan ini sempat berfikir bahwa hujan di musim kemarau itu adalah sebuah
pertanda dari alam bahwa bumi telah pikun? Jika anda termasuk dari salah
satunya, maka berbahagialah!
Cukupkah menyadari? Tidak.
Berapa banyak dari pembaca yang kemudian bisa menjawab
pertanyaan, lantas apa untungnya kita menyadari bahwa bumi sudah semakin tua?
Jika anda salah satunya, maka renungkanlah! Dan mudah-mudahan jawaban itu akan
membuat kita semakin dekat kepada Dia tempat kita semua berasal dan tempat kita
akan kembali.
great thanks to Mr.Kahar and fabulous friends at Speaking4 subject.