Selasa, 09 Juni 2015

Bumi Sudah Pikun?

Senin, 8 juni 2015 pukul 9.30 pagi, kami masih sementara melakukan rutinitas ketika hujan turun. Rutinitas yang masih sama, dengan hal yang sama, di tempat yang sama, pada waktu yang sama. Dosen masih tengah berbagi informasi kepada kami. Teman-teman yang lain juga masih sibuk memperhatikan bahkan ada yang tangannya bergerak cepat menuntun pulpennya mencatat poin-poin kebaikan yang disampaikan beliau. Bukan materi kuliah tapi lebih penting dari itu. Makanan untuk jiwa, asupan gizi untuk rohani.

Hujan masih turun, semakin deras hingga membuat suara beliau tenggelam dalam suara hujan. Tiba-tiba beliau berhenti, menengok ke arah pintu, kemudian menatap butiran air hujan yang turun.

“seharusnya kita sekarang sudah memasuki musim kemarau tapi akhir-akhir ini malah sering turun hujan”. Kata beliau. Disusul oleh perhatian kami yang mulai teralihkan oleh derasnya hujan

“menurut para peramal cuaca, saat ini masih musim transisi. Jadi sisa-sisa hujan yang belum sempat turun di musim hujan baru turun sekarang.” Sambil tersenyum. Dari ujung depan, saya memperhatikan mahasiswa yang lain. Sebagian dari kami menyambutnya dengan senyum mengiyakan, sebagian lagi menyambut dengan ekspresi wajah dengan berfikir kalimat apa yang akan keluar setelah ekspresi itu dari beliau.

Beliau memang seorang yang selalu penuh dengan kejutan. Selalu saja ada hal yang beliau bawa setiap harinya ke dalam ruang kelas untuk disampaikan kepada mahasiswa dengan niat berbagi kebaikan yang selanjutnya akan memotivasi kami untuk mengamalkan kebaikan-kebaikan yang beliau sampaikan. Katanya, materi perkuliahan kita dengan kemampuan mahasiswa semacam kalian sebenarnya bisa kalian mengerti dengan belajar sendiri atau belajar bersama. Yang paling penting sebenarnya, bagaimana agar kalian meniatkan setiap kegiatan kalian termasuk pembelajaran hari ini sebagai ibadah.

“tapi” lanjutnya, “kalau melihat hujan akhir-akhir ini sepertinya hujan ini bukan sisa-sisa, bukan begitu?” tanyanya pada kami. “kita sepertinya sedang memasuki musim hujan lagi tanpa melalui musim kemarau” katanya. Saya berbalik, memperhatikan teman-teman kembali, tampak dari mereka ekspresi kebingungan, ada yang tersenyum karena menganggap hal itu lelucon dan ada yang masih sepertinya menunggu apa lanjutan dari kalimat tersebut (yang mungkin kurang lebih sama dengan ekspresi pembaca yang sedang menatap rangkain huruf-huruf dalam paragraf ini.:D)

“artinya apa? Bumi sekarang sudah semakin tua. Hingga lupa sekarang sudah musim kemarau atau masih musim hujan ya? Ah, Mungkin musim hujan, jadi ya hujan lagi” teman-teman yang lain mulai tersenyum.
Saya terdiam, menatapi ekspresi dari teman-teman yang lain dan tertuju pada saudari yang sedang tampak merenung, memikirkan hal yang sepertinya sama dengan yang saya fikirkan. Bumi sudah tua. Sudah pikun! Tapi apakah kita menyadari? Begitu kurang lebih.

Bumi sudah tua! Begitu mendalam makna dari susunan kata ini. Tapi terkadang sulit bagi kita untuk sekedar menyadari. Bumi yang kita tempati ini sudah seperti orang lanjut usia yang nikmat-Nya diambil kembali, sedikit demi sedikit lalu akhirnya kembali seutuhnya kepada Dia Yang Maha Pemberi nikmat. 

Berapa banyak dari pembaca yang ketika dari awal membaca tulisan ini sempat berfikir bahwa hujan di musim kemarau itu adalah sebuah pertanda dari alam bahwa bumi telah pikun? Jika anda termasuk dari salah satunya, maka berbahagialah! 

Cukupkah menyadari? Tidak.

Berapa banyak dari pembaca yang kemudian bisa menjawab pertanyaan, lantas apa untungnya kita menyadari bahwa bumi sudah semakin tua? Jika anda salah satunya, maka renungkanlah! Dan mudah-mudahan jawaban itu akan membuat kita semakin dekat kepada Dia tempat kita semua berasal dan tempat kita akan kembali.

great thanks to Mr.Kahar and fabulous friends at Speaking4 subject.